BIDAT-BIDAT DI ABAD PERTENGAHAN
A. Waldeness
Kita ketahui bersama bahwa
pada abad pertengahan (abad 5 s/d 15) tidak sembarang orang dapat membaca
Alkitab. Namun secara kebetulan pada tahun 1176, Peter Waldo seorang
berkebangsaan Perancis menemukan Alkitab. Mulai saat itu dengan rajin dan tekun
dia mempelajari dan menyelidikinya. Hatinya sangat terkesan dan tergerak oleh
isi Alkitab, dan pada akhirnya dia menerima Tuhan Yesus sebagai Juruselamat
pribadinya.
Ayat yang sangat berkesan
dan menarik perhatian Waldo adalah Matius 19:21, yang berkata: “Jika engkau
hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu pada
orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah
kemari dan ikutlah Aku”. Demikian juga dalam Matius 10:5-7, yang berkata:
“Kedua belas murid itu diutus oleh Yesus dan Ia berpesan kepada mereka:
Janganlah kamu menyimpang ke jalan bangsa lain atau masuk ke dalam kota orang
Samaria, melainkan pergilah kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel.
Pergilah dan beritakanlah: Kerajaan Sorga sudah dekat”. Berdasarkan
pemahamannya pada ayat-ayat dimaksud, ia kemudian membagikan harta kekayaannya
kepada istri dan anak-anaknya, juga kepada orang-orang miskin dan mulai
mengabarkan Injil ke berbagai tempat.
Mulai saat itu maka cara
hidup Waldo, baik makan, berpakaian, secara harafiah semua dilakukan sesuai
dengan apa yang dia sudah baca. Semangat dan cara hidupnya yang sederhana
membangkitkan kekaguman masyarakat sekitarnya, sehingga dalam waktu singkat
banyak orang yang mulai mengikuti cara hidupnya. Dari sinilah terbentuk
perkumpulan yang menamakan dirinya sebagai perkumpulan orang-orang “hampa hatinya”
(Mat. 5:3). Pada tahun inilah dianggap sebagai tahun dimulainya gerakan
Waldeness. Mereka sangat aktif melakukan Pekabaran Injil (PI), dan menganjurkan
untuk hidup sederhana, karena menurut mereka cara hidup demikian yang
dikehendaki Tuhan.
Di sekitar kota Milan
terdapat satu kelompok yang menamakan dirinya sebagai orang yang hina dina,
yang hidup mengasingkan diri dan menyiksa diri. Karena menolak kekuasaan Paus
dan menerima Alkitab sebagai otoritas tertinggi, maka mereka dipecat dari
gereja Katolik Roma. Kemudian mereka menggabungkan diri dengan Waldeness, dan
mengakui Waldo sebagai pemimpin mereka. Dengan demikian aliran ini berkembang
sangat pesat. Anggotanya tersebar di sebelah selatan Perancis, utara Italia,
utara Spanyol, Austria dan Jerman.
Beberapa pokok ajaran
Waldeness adalah sebagai berikut:
Pertama, Alkitab perlu
diterjemahkan ke dalam bahasa daerah dan dibaca oleh setiap orang. Setiap orang
Kristen harus menjadikan, khususnya Perjanjian Baru sebagai dasar iman dan
standar kehidupan kekristenan. Bagi mereka Alkitab dianggap sebagai hukum
Taurat dan peraturan bagi kehidupan manusia dan harus ditaati secara harafiah.
Berdasarkan pandangan ini anggota aliran ini dianjurkan untuk menghafal
ayat-ayat Alkitab. Mereka juga berpandangan bahwa berdua-duaan pergi
mengabarkan Injil dengan pakaian sederhana harus ditaati.
Kedua, hari Senin, Rabu
dan Jumat adalah hari berpuasa. Dilarang untuk membunuh makhluk hidup; dilarang
untuk bersumpah. Doa yang dapat disampaikan kepada Allah hanyalah Doa Bapa Kami
dan Doa Pengucapan Syukur.
Ketiga, sakramen-sakramen
yang dilakukan oleh aliran ini sama seperti yang dilakukan oleh gereja Katolik
Roma. Namun mereka tidak menerima adanya api penyucian dan konsep Paus tidak
pernah bersalah.
Keempat, jemaat awam harus
dilibatkan dalam jabatan gerejani.
Kelima, doa pribadi lebih
berkuasa dari doa di gereja.
Keenam, dalam struktur
organisasi ada uskup, pendeta dan majelis. Namun ada pemimpin yang tertinggi,
yakni Peter Waldo sendiri.
B. Joachimisme
Pendiri dari aliran ini adalah
Joachim De Fiori (1145-1202), yang menitik beratkan kepada berita dan nubuatan
tentang akhir zaman dan suara kenabian. Ia pernah menulis buku nubuatan, yang
isinya menyebutkan bahwa gereja pada masa itu bagaikan wanita pelacur dan pohon
ara yang sudah kering.
De Fiori berpendapat bahwa
struktur organisasi dan cara ibadah yang ada harus dirombak. Tata cara gereja
yang kaku harus diganti, dan dalam hal ini kasihlah yang harus ditonjolkan.
Kehidupan bermeditasi harus lebih ditingkatkan, dengan mengurangi aktivitas
dalam kehidupan yang nyata.
Beberapa pokok ajaran
Joachimisme adalah sebagai berikut:
Pertama, percaya bahwa
pemerintah sipil adalah alat di tangan Tuhan yang akan dipergunakan untuk
menghukum gereja yang sudah bobrok.
Kedua, pada tahun 1260, Roh
Kudus akan datang lagi dan akan mengatasi segala masalah yang ada.
Kedatangan-Nya kali ini adalah sebagai wakil Allah Bapa, Allah Anak untuk
menyempurnaan keselamatan. Pada waktu itu akan terjadi penganiayaan dan terjadi
pemisahan antara gandum dan sekam, dan pada akhirnya hanyalah orang yang
dipilih Allah akan memasuki tempat yang penuh kedamaian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar