Jumat, 01 April 2016

Predestinasi Calvinisme?

Menggugat dan menolak  “Predestinasi” Calvinisme

Latar belakang
Inti dari pembahasan yang ditulis oleh A. Naftallino dalam bukunya yang berjudul “Predestinasi” adalah suatu kerinduan untuk menuangkan gagasannya yang selama ini menjadi pergumulan panjang, akhirnya berkeyakinan dan bersikap tegas menolak ajaran predestinasi, karena adanya ketidakkonsistenan dalam ajaran tersebut. Dimana satu sisi begitu bersikukuh terhadap kebenaran doktrin yang diyakininya, tetapi pada sisi lain secara praksisnya tidak menunjukan seperti apa yang diyakininya. Banyak kontradiksi-kontradiksi dan menganggapnya sepi dan, bersifat dualistis yang tidak secara konsisten dapat dipertahankan. Dan satu hal lagi, mereka dengan membuat istilah seperti anugerah umum disamping anugerah khusus, pannggilan umum dan panggilan eksternal; dimaknai menurut seleranya sendiri. Istilah-istilah ini diinterprestasikan sedemikian rupa agar selaras dengan, (dan demi) untuk mendukung doktrin Calvin.
Predestenasi adalah salah satu istilah yang dikemukakan secara “fanatisme” untuk menjunjung tinggi kedaulatan Allah, dan memandang rendah manusia dan penekannan tentang kaum pilihan, telah membawa malapetaka bagi kemanusiaan. Dampak ajaran predestinasi sangat nyata didalam kehidupan bergereja. Satu kelemahan seorang agamanis dan terutama kaum injili terlalu membesar-besarkan masalah batas keyakinan dengan membangun istilah-istilah. Melalui istilah-istilah atau pernyataan-pernyataan yang sekalipun motifnya tidak salah, hendaknya menjunjung tinggi kebenaran (Alkitab). Akan tetapi menjadi tidak tepat mana kala kita tidak dengan terbuka dan kritis melihat Alkitab. Pengaruh ajaran predestinasi yang secara negative berdampak kepada masalah-masalah social-politik, sebagai akibat fanatisme pembenaran doktrin yang keliru dari ajaran Reformed. Banyak kaum cendikiawan pada akhirnya menolak kekristenan karena melihat hal-hal yang naïf penuh dengan kontradiksi dari teisme model calvinisme ini.
Bagi para penganut Calvin berpandangan, orang yang tidak percaya karena tidak dipilih, orang yang percaya karena ia dipilih. Kaum TULIP berpandangan, bahwa hukuman atau kebinasaan manusia memang dikehendaki Allah. Dan karena itu Ia telah menetapkan sejak kekal orang-orang yang harus masuk kepada penghukuman. Pandangan ini bukan saja tidak alkitabiah, tidak logic, tetapi juga bertentangan dengan nilai-nilai yang bisa disebut keagungan dan belaskasih yang mencerminkan hakikat Allah. Sejauh pengamatan penulis, kaum TULIP begitu bersekukuh dan bersikap hatam kromo kepada siapapun yang besebrangan dengan doktrin TULIP, mereka adalah kaum pelagian yang menentang doktrin anugerah. Ini sikap tidak terpuji dan menyombongkan diri – arogan! Kaum TULIP berpandangan bahwa pada dasarnya iman pun pemberian Allah. Logika ini menegaskan bahwa orang yang tidak beriman karena memang tidak diberi. Logika ini merupakan serentetan yang semakin menegaskan teologi pilih kasih alias teologi ketidakadilan dari kaum TULIP. Logika pilihan berdasarkan panggilan bukan manusianya yang ditentukan, tetapi didalam dan melalui Yesuslah penentuan yang pasti dan kepastian yang menentukan, dengan sendirinya manusia selamat dan binasa. Inilah ajaran predestinasi yang sesungguhnya yang alkitabiah. Di dalam Yesus pulalah Allah mentaruhkan kedaulatanNya, kasih dan kerelaan kehendakNya. Berita Injil adalah panggilan itu diperuntukan kepada semua orang dan segenap bangsa di muka bumi. Dengan sendirinya kuasa Injil akan bekerja secara berkuasa. Daya pesona Injil akan menyatakan pesonanya (kekuatannya). Ibarat harta terpendam, bisa diketemukan oleh setiap orang, atau Mutiara yang indah yang dicari pedagang. Pada hakikatnya tidak ada manusia yang menolak hal yang bernilai. Jadi umat pilihan berdasarkan panggilan lebih merujuk kepada kedaulatan Allah yang menentukan jalan keselamatan yang harus dilalui manusia dan bukan manusia yang menentukan jalanya sendiri.
Tanggapan:
Kelemahannya
            Pada kenyataan yang ada, ternyata dari sudut pandang penulis ada ketidak selarasan yang benar, karena didalam penulisanya beranggapan bahwa kedaulatan Allah itu sepertinya dapat runtuh  hanya kerena keputusan kerelaaanya, ketika memberikan kesempatan kepada manusia dalam taman Eden untuk bertindak. Dalam tulisannya ia berpendapat, kejatuhan adalah realitas, berarti manusia diberi kebebasan, sebab itu ia berkehendak menentukan pilihanya. Adanya ketetapan Allah dalam kerelaan kehendakNya mempertaruhkan kedaulatanNya – dalam kasih kasih agar manusia juga dengan rela mentaatinya dalam kasih. Inilah dinamika kehidupan yang Allah kehendaki – kasih menjadi landasan relasi yang indah antara ciptaan dengan Penciptanya.
Akan tetapi cara pandang penulis yang begitu kritis, tentang kedaulatan Allah begitu sempit, ia melihat kedaulatan Allah tidak memiliki kekuatan dan Allah yang tidak berotoritas penuh, sehingga anugerah hanya dipandang sebagai kasihNya saja, sedangkan ketika manusia yang mengalami banyak persoalan dan pergumulan dipandang sebagai Allah dalam ketidak adilanNya. satu hal lagi, ketika Allah menentukan dan memilih siapa yang diselamatkan, dianggap sebagai Allah yang pilih kasih, bukan Allah yang penuh kasih yang menyebabkan perbedaan-perbedaan yang mencolok diantara umat manusia. Pada kenyataannya itulah Allah yang berdaulat dan berotoritas, yang keputusanNya tidak bisa dibatalkan oleh siapapun. Inilah cara pandang para teolog kontemporer yang berangkat dari logika dan filsup, serta beranggapan bahwa Alkitab bukan sumber utama dan bukan Firman Allah. Filsafat dikawinkan dengan Alkitab, sehingga Alkitab tidak menjadi pedoman satu-satunya dalam hidup. Alkitab hanya berwibawa sebagai sumber pengetahuan tentang keselamatan dan hidup yang baik dalam kekristenan. Sedang Aristoteles dipandang sebagai sumber pengetahuan duniawi, pengetahuan ilmu alam, ilmu sosial, dll. Alkitab tidak lagi berwewenang dalam bidang ilmu pengetahuan dan diganti dengan filsafat Aristoteles sebagai ratu ilmu pengetahuan.(lihat Linnemann, 1991, 17-20). Inilah dasar pemikiran para teolog kontemporer.
Sesuatu yang perlu di ingat (kelebihannya)
            Pada hakikatnya membangun kehidupan yang intim dengan Tuhan tidak memerlukan pengetahuan teologi yang tinggi. Pengetahuan yang tinggi justru malah bisa menjadi penghalang persekutuan kita yang intim dengan Allah. Allah bukan sekedar ada dalam dunia ide dengan segala teologi kita yang tinggi. Tetapi Dia menuntut suatu tindakan yang konkret, sebagai bukti sikap hati kita bahwa, kita memerlukan dan bergantung kepadaNya dan, bukan bergantung kepada pengetahuan atau hati kita sendiri. Untuk itu, kekristenan tidak cukup hanya bertumpu pada berteologi secara abstraksi, apa lagi ibadah-ibadah secara kultis semata. Tetapi menuntut implemntasi nyata didalam dan melalui kehidupan. Jadi ada keseimbangan yang searah dan sekualitas, antara apa yang diyakini dan yang dilakukan. Itu sebabnya, berteologi yang membangun adalah berteologi yang mengedepankan tanggungjawab manusia dengan menyadari akan tanggungjawabnya sebagai manusia yang beretika dan bermoral.

            Dari bacaan diatas bahwa kita dapat belajar tentang bagaimana membangun kehidupan, menghayati hidup dengan nalar dan bukan bersembunyi, atau mencoba memenangkan diri dibalik doktrin sebagai pembenaran. Tetapi lebih kepada relasi yang intim dan bergairah dalam persekutuan dengan Tuhan, dan bagaimana mengekspresikan iman yang hidup didalam kehidupan yang konkret. Dan bukan hanya skedar mengerti doktrin, dan berbangga atas pengertiannya, seolah telah diselamatkan. Sekali lagi bukan pengertian kita akan doktrin yang menyelamatkan, tetapi iman yang hidup dan kepastian pada buah iman yang nyata. Bahwa perbuatan kita menjadi saksi bahwa kita adalah orang beriman – pengikut Kristus yang sejati!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar