Menggugat dan menolak “Predestinasi” Calvinisme
Latar belakang
Inti dari pembahasan yang ditulis oleh A. Naftallino
dalam bukunya yang berjudul “Predestinasi” adalah suatu kerinduan untuk
menuangkan gagasannya yang selama ini menjadi pergumulan panjang, akhirnya
berkeyakinan dan bersikap tegas menolak ajaran predestinasi, karena adanya ketidakkonsistenan dalam
ajaran tersebut. Dimana satu sisi begitu bersikukuh terhadap kebenaran doktrin
yang diyakininya, tetapi pada sisi lain secara praksisnya tidak menunjukan
seperti apa yang diyakininya. Banyak kontradiksi-kontradiksi dan menganggapnya
sepi dan, bersifat dualistis yang tidak secara konsisten dapat dipertahankan.
Dan satu hal lagi, mereka dengan membuat istilah seperti anugerah umum
disamping anugerah khusus, pannggilan umum dan panggilan eksternal; dimaknai
menurut seleranya sendiri. Istilah-istilah ini diinterprestasikan sedemikian
rupa agar selaras dengan, (dan demi) untuk mendukung doktrin Calvin.
Predestenasi
adalah salah satu istilah yang dikemukakan secara “fanatisme” untuk menjunjung
tinggi kedaulatan Allah, dan memandang rendah manusia dan penekannan tentang
kaum pilihan, telah membawa malapetaka bagi kemanusiaan. Dampak ajaran
predestinasi sangat nyata didalam kehidupan bergereja. Satu kelemahan seorang
agamanis dan terutama kaum injili terlalu membesar-besarkan masalah batas
keyakinan dengan membangun istilah-istilah. Melalui istilah-istilah atau
pernyataan-pernyataan yang sekalipun motifnya tidak salah, hendaknya menjunjung
tinggi kebenaran (Alkitab). Akan tetapi menjadi tidak tepat mana kala kita
tidak dengan terbuka dan kritis melihat Alkitab. Pengaruh ajaran predestinasi
yang secara negative berdampak kepada masalah-masalah social-politik, sebagai
akibat fanatisme pembenaran doktrin yang keliru dari ajaran Reformed. Banyak
kaum cendikiawan pada akhirnya menolak kekristenan karena melihat hal-hal yang
naïf penuh dengan kontradiksi dari teisme model calvinisme ini.
Bagi para
penganut Calvin berpandangan, orang yang tidak percaya karena tidak dipilih,
orang yang percaya karena ia dipilih. Kaum TULIP berpandangan, bahwa hukuman
atau kebinasaan manusia memang dikehendaki Allah. Dan karena itu Ia telah
menetapkan sejak kekal orang-orang yang harus masuk kepada penghukuman.
Pandangan ini bukan saja tidak alkitabiah, tidak logic, tetapi juga
bertentangan dengan nilai-nilai yang bisa disebut keagungan dan belaskasih yang
mencerminkan hakikat Allah. Sejauh pengamatan penulis, kaum TULIP begitu
bersekukuh dan bersikap hatam kromo kepada siapapun yang besebrangan dengan
doktrin TULIP, mereka adalah kaum pelagian yang menentang doktrin anugerah. Ini
sikap tidak terpuji dan menyombongkan diri – arogan! Kaum TULIP berpandangan
bahwa pada dasarnya iman pun pemberian Allah. Logika ini menegaskan bahwa orang
yang tidak beriman karena memang tidak diberi. Logika ini merupakan serentetan
yang semakin menegaskan teologi pilih kasih alias teologi ketidakadilan dari
kaum TULIP. Logika pilihan berdasarkan panggilan bukan manusianya yang
ditentukan, tetapi didalam dan melalui Yesuslah penentuan yang pasti dan
kepastian yang menentukan, dengan sendirinya manusia selamat dan binasa. Inilah ajaran predestinasi yang sesungguhnya
yang alkitabiah. Di dalam Yesus pulalah Allah mentaruhkan kedaulatanNya,
kasih dan kerelaan kehendakNya. Berita Injil adalah panggilan itu diperuntukan
kepada semua orang dan segenap bangsa di muka bumi. Dengan sendirinya kuasa
Injil akan bekerja secara berkuasa. Daya pesona Injil akan menyatakan pesonanya
(kekuatannya). Ibarat harta terpendam, bisa diketemukan oleh setiap orang, atau
Mutiara yang indah yang dicari pedagang. Pada hakikatnya tidak ada manusia yang
menolak hal yang bernilai. Jadi umat pilihan berdasarkan panggilan lebih
merujuk kepada kedaulatan Allah yang menentukan jalan keselamatan yang harus
dilalui manusia dan bukan manusia yang menentukan jalanya sendiri.
Tanggapan:
Kelemahannya
Pada
kenyataan yang ada, ternyata dari sudut pandang penulis ada ketidak selarasan
yang benar, karena didalam penulisanya beranggapan bahwa kedaulatan Allah itu
sepertinya dapat runtuh hanya kerena
keputusan kerelaaanya, ketika memberikan kesempatan kepada manusia dalam taman
Eden untuk bertindak. Dalam tulisannya ia berpendapat, kejatuhan adalah
realitas, berarti manusia diberi kebebasan, sebab itu ia berkehendak menentukan
pilihanya. Adanya ketetapan Allah dalam kerelaan kehendakNya mempertaruhkan
kedaulatanNya – dalam kasih kasih agar manusia juga dengan rela mentaatinya
dalam kasih. Inilah dinamika kehidupan yang Allah kehendaki – kasih menjadi
landasan relasi yang indah antara ciptaan dengan Penciptanya.
Akan
tetapi cara pandang penulis yang begitu kritis, tentang kedaulatan Allah begitu
sempit, ia melihat kedaulatan Allah tidak memiliki kekuatan dan Allah yang
tidak berotoritas penuh, sehingga anugerah hanya dipandang sebagai kasihNya
saja, sedangkan ketika manusia yang mengalami banyak persoalan dan pergumulan
dipandang sebagai Allah dalam ketidak adilanNya. satu hal lagi, ketika Allah
menentukan dan memilih siapa yang diselamatkan, dianggap sebagai Allah yang
pilih kasih, bukan Allah yang penuh kasih yang menyebabkan perbedaan-perbedaan
yang mencolok diantara umat manusia. Pada kenyataannya itulah Allah yang
berdaulat dan berotoritas, yang keputusanNya tidak bisa dibatalkan oleh
siapapun. Inilah cara pandang para teolog kontemporer yang berangkat dari
logika dan filsup, serta beranggapan bahwa Alkitab bukan sumber utama dan bukan
Firman Allah. Filsafat dikawinkan dengan Alkitab, sehingga Alkitab tidak
menjadi pedoman satu-satunya dalam hidup. Alkitab hanya berwibawa sebagai
sumber pengetahuan tentang keselamatan dan hidup yang baik dalam kekristenan. Sedang
Aristoteles dipandang sebagai sumber pengetahuan duniawi, pengetahuan ilmu
alam, ilmu sosial, dll. Alkitab tidak lagi berwewenang dalam bidang ilmu
pengetahuan dan diganti dengan filsafat Aristoteles sebagai ratu ilmu
pengetahuan.(lihat Linnemann, 1991, 17-20). Inilah dasar pemikiran para teolog
kontemporer.
Sesuatu yang perlu di ingat (kelebihannya)
Pada
hakikatnya membangun kehidupan yang intim dengan Tuhan tidak memerlukan
pengetahuan teologi yang tinggi. Pengetahuan yang tinggi justru malah bisa
menjadi penghalang persekutuan kita yang intim dengan Allah. Allah bukan
sekedar ada dalam dunia ide dengan segala teologi kita yang tinggi. Tetapi Dia
menuntut suatu tindakan yang konkret, sebagai bukti sikap hati kita bahwa, kita
memerlukan dan bergantung kepadaNya dan, bukan bergantung kepada pengetahuan
atau hati kita sendiri. Untuk itu, kekristenan tidak cukup hanya bertumpu pada
berteologi secara abstraksi, apa lagi ibadah-ibadah secara kultis semata.
Tetapi menuntut implemntasi nyata didalam dan melalui kehidupan. Jadi ada
keseimbangan yang searah dan sekualitas, antara apa yang diyakini dan yang
dilakukan. Itu sebabnya, berteologi yang membangun adalah berteologi yang
mengedepankan tanggungjawab manusia dengan menyadari akan tanggungjawabnya
sebagai manusia yang beretika dan bermoral.
Dari
bacaan diatas bahwa kita dapat belajar tentang bagaimana membangun kehidupan,
menghayati hidup dengan nalar dan bukan bersembunyi, atau mencoba memenangkan
diri dibalik doktrin sebagai pembenaran. Tetapi lebih kepada relasi yang intim
dan bergairah dalam persekutuan dengan Tuhan, dan bagaimana mengekspresikan
iman yang hidup didalam kehidupan yang konkret. Dan bukan hanya skedar mengerti
doktrin, dan berbangga atas pengertiannya, seolah telah diselamatkan. Sekali
lagi bukan pengertian kita akan doktrin yang menyelamatkan, tetapi iman yang
hidup dan kepastian pada buah iman yang nyata. Bahwa perbuatan kita menjadi
saksi bahwa kita adalah orang beriman – pengikut Kristus yang sejati!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar